Thursday, July 30, 2009

Yogyakarta, Daerah Batik yang Dijajah Produk Luar

Para pedagang di kawasan Malioboro dan Pasar Beringharjo menjadi salah satu saksi bahwa batik Yogya belum bisa menjadi “raja” di wilayah sendiri. Mereka mengaku enggan menjual batik Yogya karena motifnya yang terlalu berorientasi pada pakem-pakem tradisional dengan corak atau desain yang kurang memenuhi selera pasar. Bahkan, cenderung terasa monoton, hingga berkesan tak memberi ruang bagi dinamika motif. Oleh Boni Dwi

Pada kenyataannya, berbicara tentang produk batik maka juga harus berbicara tentang prospek pasarnya. Apabila ingin tetap bertahan, tampaknya para produsen batik Yogyakarta perlu berupaya keras agar bisa keluar dari citra tadi.

Namun demikian, menurut Budi Suhendar (34), salah seorang pedagang batik di Pasar Beringharjo, Senin (15/5), hal itu bukan berarti ada keharusan menghilangkan citra tradisional batik Yogya. Sebagian konsumen masih tetap ada yang fanatik dengan nuansa tradisional. “Hanya saja, desainnya jangan monoton. Selama ini, produk batik Yogya selalu terbatas pada jarit, selendang, dan batik prada.

Beda dengan batik Pekalongan dan Solo, yang bisa membuat desain kaus santai, hem santai, celana pendek santai. Coba buat desain seperti itu, dengan motif atau corak tradisional, saya jamin pasti laku,” kata Budi yang sudah 20 tahun menjadi penjual batik itu. Kalangan muda Dari kalangan produsen dan toko batik di Yogya sendiri, kesadaran untuk mengembangkan desain batik terutama dilatarbelakangi perubahan gaya hidup manusia modern dibandingkan masa sebelumnya, khususnya di kalangan kaum muda.

Dengan kata lain, tujuan yang ingin diraih adalah jangan sampai batik kehilangan pamor, generasi penerus, dan dilupakan. “Batik tidak sekadar kain sarung, jarit, atau selendang, tetapi juga baju kerja dan baju santai bagi seluruh kalangan. Jangan sampai batik hilang pamor di negeri produsen batik sendiri,” ujar Sodikin, Direktur Batik Pertiwi. Indah Widiarti, Manager Batik Margaria Grup, mengatakan pengembangan desain itu digarap secara serius di tengah optimisme bahwa batik tetap akan digemari oleh sejumlah kalangan di masyarakat dari waktu ke waktu. Sebab, menurut dia, batik sebagai sesuatu yang unik tetapi asli, malah akan dicari orang.

Namun, keduanya menyadari tidak mudah melepaskan anggapan bahwa batik itu berkaitan dengan sesuatu yang formal, resmi, dan berkaitan denga pakem-pakem tertentu, demi memperoleh orisinalitas sebuah produk batik. Apalagi, kondisi semacam itu sudah berlangsung dalam kurun waktu yang relatif lama, berpuluh-puluh tahun. Untuk itu, mereka harus melakukan kompromi antara pakem dengan selera pasar.

Kompromi “Kompromi itu mencakup warna, motif, model, serta material yang digunakan. Semuanya digabung menjadi satu konsep khusus mode batik untuk kaum muda,” kata Indah. Sesuai segmen yang dibidik Margaria, yakni kelas menengah-atas, kata Indah, maka warna yang dipilih biasanya adalah warna-warna lembut dengan motif tabur, seperti bunga-bunga kecil, yang lebih menonjol. Material yang dipilih pun lebih banyak berbahan katun maupun paris.

Sodikin dari Pertiwi Grup juga mengaku fokus pada penciptaan desain- desain yang lebih menarik bagi kaum muda, misalnya desain produk batik yang asimetris. Desain batik asimetris itu merupakan desain relatif baru yang lain dari pakem selama ini, di mana batik selalu simetris. Sejak sekitar lima tahun terakhir, pergerakan pasar batik di Yogyakarta justru didominasi oleh batik asal Pekalongan dan Solo. Muncul sebuah anekdot yang cukup ironis dari salah satu pedagang di Pasar Beringharjo, bahwa batik Yogya belum bisa menjadi raja di wilayah sendiri. “Kesannya, Yogya itu sedang terjajah oleh batik luar Yogya. Ini kan lucu.

Padahal, Yogya juga terkenal dengan produk batiknya,” ujar Harni, produsen dan pedagang batik di wilayah Ngasem. Seretnya perkembangan batik Yogya, salah satunya disebabkan kurang inovatifnya para produsen dalam menampilkan desain dan motif. Mungkin, perlu ada semacam “pemberontakan” terhadap pakem yang selama ini telanjur dianggap mapan. Entah apa pun bentuknya, yang jelas itu berawal dari keinginan bahwa batik Yogyakarta tidak boleh tenggelam ditelan zaman…

kompas(Pramudyanto dan Benny Dwi Koestanto)

perbedaan batik tulis dan batik cap

Perkembangan batik pada masa sekarang cukup menggembirakan, hal ini berdampak positif bagi produsen batik-batik di berbagai daerah. Permintaan batik tulis maupun batik cap sangat tinggi sekali, walaupun kebutuhan pasar batik tersebut sebagian sudah dipenuhi dengan tekstil bermotif batik yang diproduksi oleh perusahaan-perusahaan tekstil yang bermodal besar. Beberapa pengrajin batik menghendaki untuk pembayaran di muka agar produksinya bisa lancar dan pembeli akan segera menerima pesanan yang diminta, hal ini mengingatkan pada masa tahun 70-an dimana pada waktu itu batik juga mengalami permintaan yang cukup lumayan jumlahnya.

Perbedaan batik tulis dan batik cap bisa dilihat dari beberapa hal sbb:

Batik Tulis

Batik Tulis

Batik Tulis

  1. Dikerjakan dengan menggunakan canting yaitu alat yang terbuat dari tembaga yang dibentuk bisa menampung malam (lilin batik) dengan memiliki ujung berupa saluran/pipa kecil untuk keluarnya malam dalam membentuk gambar awal pada permukaan kain.
  2. Bentuk gambar/desain pada batik tulis tidak ada pengulangan yang jelas, sehingga gambar nampak bisa lebih luwes dengan ukuran garis motif yang relatif bisa lebih kecil dibandingkan dengan batik cap.
  3. Gambar batik tulis bisa dilihat pada kedua sisi kain nampak lebih rata (tembus bolak-balik) khusus bagi batik tulis yang halus.
  4. Warna dasar kain biasanya lebih muda dibandingkan dengan warna pada goresan motif (batik tulis putihan/tembokan).
  5. Setiap potongan gambar (ragam hias) yang diulang pada lembar kain biasanya tidak akan pernah sama bentuk dan ukurannya. Berbeda dengan batik cap yang kemungkinannya bisa sama persis antara gambar yang satu dengan gambar lainnya.
  6. Waktu yang dibutuhkan untuk pembuatan batik tulis relatif lebih lama (2 atau 3 kali lebih lama) dibandingkan dengan pembuatan batik cap. Pengerjaan batik tulis yang halus bisa memakan waktu 3 hingga 6 bulan lamanya.
  7. Alat kerja berupa canting harganya relatif lebih murah berkisar Rp. 10.000,- hingga Rp. 20.000,-/pcs.
  8. Harga jual batik tulis relatif lebih mahal, dikarenakan dari sisi kualitas biasanya lebih bagus, mewah dan unik.

Batik Cap

Batik Cap

  1. Dikerjakan dengan menggunakan cap (alat yang terbuat dari tembaga yang dibentuk sesuai dengan gambar atau motif yang dikehendaki). Untuk pembuatan satu gagang cap batik dengan dimensi panjang dan lebar : 20 cm X 20 cm dibutuhkan waktu rata-rata 2 minggu.
  2. Bentuk gambar/desain pada batik cap selalu ada pengulangan yang jelas, sehingga gambar nampak berulang dengan bentuk yang sama, dengan ukuran garis motif relatif lebih besar dibandingkan dengan batik tulis.
  3. Gambar batik cap biasanya tidak tembus pada kedua sisi kain.
  4. Warna dasar kain biasanya lebih tua dibandingkan dengan warna pada goresan motifnya. Hal ini disebabkan batik cap tidak melakukan penutupan pada bagian dasar motif yang lebih rumit seperti halnya yang biasa dilakukan pada proses batik tulis. Korelasinya yaitu dengan mengejar harga jual yang lebih murah dan waktu produksi yang lebih cepat. Waktu yang dibutuhkan untuk sehelai kain batik cap berkisar 1 hingga 3 minggu.
  5. Untuk membuat batik cap yang beragam motif, maka diperlukan banyak cap. Sementara harga cap batik relatif lebih mahal dari canting. Untuk harga cap batik pada kondisi sekarang dengan ukuran 20 cm X 20 cm berkisar Rp. 350.000,- hingga Rp. 700.000,-/motif. Sehingga dari sisi modal awal batik cap relatif lebih mahal.
  6. Jangka waktu pemakaian cap batik dalam kondisi yang baik bisa mencapai 5 tahun hingga 10 tahun, dengan catatan tidak rusak. Pengulangan cap batik tembaga untuk pemakainnya hampir tidak terbatas.
  7. Harga jual batik cap relatif lebih murah dibandingkan dengan batik tulis, dikarenakan biasanya jumlahnya banyak dan miliki kesamaan satu dan lainnya tidak unik, tidak istimewa dan kurang eksklusif.

Disamping adanya perbedaan dari sisi visual antara batik tulis dan batik cap, namun dari sisi produksi ada beberapa kesamaan yang harus dilalui dalam pengerjaan keduanya. Diantaranya adalah sbb:

  • Keduanya sama-sama bisa dikatakan kain batik, dikarenakan dikerjakan dengan menggunakan bahan lilin sebagai media perintang warna.
  • Dikerjakan hampir oleh tangan manusia untuk membuat gambar dan proses pengerjaan buka tutup warnanya.
  • Bahan yang digunakannya juga sama berupa bahan dasar kain yang berwarna putih, dan tidak harus dibedakan jenis bahan dasar benangnya (katun atau sutra) atau bentuk tenunannya.
  • Penggunaan bahan-bahan pewarna serta memproses warnanya sama, tidak ada perbedaan anatara batik tulis dan batik cap.
  • Cara menentukan lay-out atau patron dan juga bentuk-bentuk motif boleh sama diantara keduanya. Sehingga ketika keduanya dijahit untuk dibuat busana tidak ada perbedaan bagi perancang busana atau penjahitnya. Yang membedakan hanya kualitas gambarnya saja.
  • Cara merawat kain batik (menyimpan, menyuci dan menggunakannya) sama sekali tidak ada perbedaan.
  • Untuk membuat keduanya diperlukan gambar awal atau sket dasar untuk memudahkan dan mengetahui bentuk motif yang akan terjadi.
netsains.com

sejarah batik

Sejarah Batik Indonesia

Batik secara historis berasal dari zaman nenek moyang yang dikenal sejak abad XVII yang ditulis dan dilukis pada daun lontar. Saat itu motif atau pola batik masih didominasi dengan bentuk binatang dan tanaman. Namun dalam sejarah perkembangannya batik mengalami perkembangan, yaitu dari corak-corak lukisan binatang dan tanaman lambat laun beralih pada motif abstrak yang menyerupai awan, relief candi, wayang beber dan sebagainya. Selanjutnya melalui penggabungan corak lukisan dengan seni dekorasi pakaian, muncul seni batik tulis seperti yang kita kenal sekarang ini.

Jenis dan corak batik tradisional tergolong amat banyak, namun corak dan variasinya sesuai dengan filosofi dan budaya masing-masing daerah yang amat beragam. Khasanah budaya Bangsa Indonesia yang demikian kaya telah mendorong lahirnya berbagai corak dan jenis batik tradisioanal dengan ciri kekhususannya sendiri.

Perkembangan Batik di Indonesia

Sejarah pembatikan di Indonesia berkaitan dengan perkembangan kerajaan Majapahit dan kerajaan sesudahnya. Dalam beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa kerajaan Mataram, kemudian pada masa kerajaan Solo dan Yogyakarta.

Kesenian batik merupakan kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluarga raja-raja Indonesia zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam kraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena banyak dari pengikut raja yang tinggal diluar kraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan ditempatnya masing-masing.


Jadi kerajinan batik ini di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerajaan Majapahit dan terus berkembang hingga kerajaan berikutnya. Adapun mulai meluasnya kesenian batik ini menjadi milik rakyat Indonesia dan khususnya suku Jawa ialah setelah akhir abad ke-XVIII atau awal abad ke-XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad ke-XX dan batik cap dikenal baru setelah usai perang dunia kesatu atau sekitar tahun 1920. Kini batik sudah menjadi bagian pakaian tradisional Indonesia.
batikmarkets.com